Melihat kondisi pembangunan ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru (sebelum krisis ekonomi 1997)dapat dikatakan bahwa Indonesia telah mengalami suatu proses pembangunan ekonomi yang sepektakuler, paling tidak pada tingkat makro (agregat). Keberhasilan ini dapat diukur dengan sejumlah indicator ekonomi makro. Yang umum digunakan adalah tingkat PN perkapita dan laju pertumbuhan PDB pertahun. Pada tahun 1968 PN per kapita masih sangat rendah, hanya sekitar US$60.
Namun, sejak pelita 1 dimulai PN Indonesia perkapita mengalami peningkatan relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$500. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata pertahun juga tinggi 7%-8% selama 1970-an dan turunke 3%-4% pertahun selama 1980-an. Selama 70-an dan 80-an, proses yang cukup serius, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seprti merosotnya harga miyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan 1980-an dan resensi ekonomi dunia pada decade yang sama. Karena Indonesia sejak pemerintahan orde baru menganut system ekonomi terbuka, 18 goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa sangat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang industri maju, seperti jepang, as, dan eropa barat yang merupahkan pasar penting ekspor indonesia. Dampak negative dari resensi ekonomi dunia tahun 1982 terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju perumbuhan ekonomi selama 1982- 1988 jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Karena pengalaman menujukan bahwa biasanya resensi ekonomi dunialebih mengakibatkan permintaan dunia berkurang terhadap bahan-bahan baku ( yang sebagian besar di ekspor oleh NSB) daripada permintaan terhadap barang-baraang konsumsi, seperti alat-alat rumah tangga dari elektronik dan mobil (yang pada umumnya adalah ekspor Negara-negara maju).
Pada saat krisis ekonomimencapai klimaksnya, yakni tahun 1998, laju pertumbuhan PDB jatuh dratis hingga 13,1%. Namun, padatahun 1999 kembali positif walaupun kecil sekitar 0,8% dan tahun 2000ekonomi Indonesia sampai mengalami laju pertumbuhan yang tinggi hampir mencapai 5%. Namun, tahun 2001 laju pertumbuhan ekonomi kembali merosot hinngga 3.8% akibat gejolak politikyang sempat memanas kembali dan pada tahun 2007 laju pertumbuhan tercatat sedikit diatas 6%.
Antara tahun 1990 hingga setahun menjelang krisis ekonomi, ekonomi indonesia tumbuh rata-rata pertahun diatas 8%. Kemajuan yang dicapai oleh cina dan india memang sangat menakjubkan. Pada awal dekade 90-an, pertumbuhan ekonomi dikedua Negara besar tersebut masing-masing tercatat hanya 3,8% dan 5,3%. Namun, pada pertengahan dekade 90-an, pertumbuhan kedua Negara itu sudahmenyamai bahkan melewati persentasi Indonesia. Dari sejumlah Negara ASEAN yang juga dihantam oleh krisis 1997/98, Indonesia memang paling parah dengan pertumbuhan negative hingga 13,1%,disusul kemudian oleh Thailand dengan -10,5%dan Malaysia-7,4%. Namun, yang menakjubkan dari kedua Negara tersebut setahunsetelah itu ekonomi mereka mengalami pulih lebih cepat dibandingkan ekonomi Indonesia yang hanya 0,8%.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik setelah 1998 tercerminkan pada peningkatanPDB perkapita atas dasar harga berlaku tercatatsekitar 4,8 juta rupiah. Tahun 1999 naik menjadi 5,4 juta rupiah dan berlangsung sehingga mencapai sekitar 10,6 juta rupiah tahun 2004, perkapita Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1420 dalar AS, di atas india, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan china.
Tahun 1998, sebagai akibat dari krisis ekonomi, semua komponen pengeluaran mengalami penurunan, terkecuali X, yang maengakibatkan kontraksi AD sekitar 13%. Sedangkan perkembangan X bias bertahan positif selama masa krisis terutama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komponen AD yang paling besar penurunannya selama 1998 adalah pembentukan modal bruto (investasi) yang merosot sekitar 33,01% dibandingkan kontraksi dari pengeluara konsumsi swasta (rumah tangga) sebesar 6,40% dan pengeluaran pemerintah sekitar 15,37%.besarnya penurunan investasi tersebut juga kelihatan jelas dari penurunan persentasenya terhadap PDB pada tahun 2000 pertumbuhan investasi (tidak termasuk perubahan stok) sempat mencapai hampir 18%, namun setelah itu merosot terus hingga negative pada tahun 2002.
Pada awalnya, salah satu factor penting yang menyebabkan merosotnya kegiatan investasi didalam negri selama masa krisis,seperti juga dinegara-negara asia lain yang terena krisis (korea selatan dan Thailand), adalah karena kerugian besar yang dialami oleh perusahan swasta akibat depresiasi rupiah yang besar, sementara utang luar negri (ULN) nya dalam mata uang dolar AS tidak dilindungi (hedging) sebelumnya dengan kurs tertentu di pasar berjangka waktu kedepan (forward). Factor-faktor lain yang membuat lesunya komponen investasi didalam AS diantaranya adalah jatuhnya harga saham, pelarian moda ( atau arus modal keluar lebih banyak daripada arus masuk), dan resiko premium yang meningkat drastis.
Dua factor terakhir ini didorong terutama oleh kondisi politik, social, keamanan dan penegakan hukum yang buruk. Sedangkan dari ekspor meningkat karena memang depresiasi rupiah terhadap dolar As waktu itu membuat sebagian produk Indonesia, khususnya perkebunan, mengalami peningkatan daya saing harga.
Namun, sejak pelita 1 dimulai PN Indonesia perkapita mengalami peningkatan relatif tinggi setiap tahun dan pada akhir dekade 1980-an telah mendekati US$500. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan PDB rata-rata pertahun juga tinggi 7%-8% selama 1970-an dan turunke 3%-4% pertahun selama 1980-an. Selama 70-an dan 80-an, proses yang cukup serius, yang terutama disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, seprti merosotnya harga miyak mentah di pasar internasional menjelang pertengahan 1980-an dan resensi ekonomi dunia pada decade yang sama. Karena Indonesia sejak pemerintahan orde baru menganut system ekonomi terbuka, 18 goncangan-goncangan eksternal seperti itu sangat terasa sangat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain faktor harga, ekspor Indonesia, baik komoditas primer maupun barang-barang industri maju, seperti jepang, as, dan eropa barat yang merupahkan pasar penting ekspor indonesia. Dampak negative dari resensi ekonomi dunia tahun 1982 terhadap perekonomian Indonesia terutama terasa dalam laju perumbuhan ekonomi selama 1982- 1988 jauh lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Karena pengalaman menujukan bahwa biasanya resensi ekonomi dunialebih mengakibatkan permintaan dunia berkurang terhadap bahan-bahan baku ( yang sebagian besar di ekspor oleh NSB) daripada permintaan terhadap barang-baraang konsumsi, seperti alat-alat rumah tangga dari elektronik dan mobil (yang pada umumnya adalah ekspor Negara-negara maju).
Pada saat krisis ekonomimencapai klimaksnya, yakni tahun 1998, laju pertumbuhan PDB jatuh dratis hingga 13,1%. Namun, padatahun 1999 kembali positif walaupun kecil sekitar 0,8% dan tahun 2000ekonomi Indonesia sampai mengalami laju pertumbuhan yang tinggi hampir mencapai 5%. Namun, tahun 2001 laju pertumbuhan ekonomi kembali merosot hinngga 3.8% akibat gejolak politikyang sempat memanas kembali dan pada tahun 2007 laju pertumbuhan tercatat sedikit diatas 6%.
Antara tahun 1990 hingga setahun menjelang krisis ekonomi, ekonomi indonesia tumbuh rata-rata pertahun diatas 8%. Kemajuan yang dicapai oleh cina dan india memang sangat menakjubkan. Pada awal dekade 90-an, pertumbuhan ekonomi dikedua Negara besar tersebut masing-masing tercatat hanya 3,8% dan 5,3%. Namun, pada pertengahan dekade 90-an, pertumbuhan kedua Negara itu sudahmenyamai bahkan melewati persentasi Indonesia. Dari sejumlah Negara ASEAN yang juga dihantam oleh krisis 1997/98, Indonesia memang paling parah dengan pertumbuhan negative hingga 13,1%,disusul kemudian oleh Thailand dengan -10,5%dan Malaysia-7,4%. Namun, yang menakjubkan dari kedua Negara tersebut setahunsetelah itu ekonomi mereka mengalami pulih lebih cepat dibandingkan ekonomi Indonesia yang hanya 0,8%.
Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik setelah 1998 tercerminkan pada peningkatanPDB perkapita atas dasar harga berlaku tercatatsekitar 4,8 juta rupiah. Tahun 1999 naik menjadi 5,4 juta rupiah dan berlangsung sehingga mencapai sekitar 10,6 juta rupiah tahun 2004, perkapita Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1420 dalar AS, di atas india, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan china.
Tahun 1998, sebagai akibat dari krisis ekonomi, semua komponen pengeluaran mengalami penurunan, terkecuali X, yang maengakibatkan kontraksi AD sekitar 13%. Sedangkan perkembangan X bias bertahan positif selama masa krisis terutama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Komponen AD yang paling besar penurunannya selama 1998 adalah pembentukan modal bruto (investasi) yang merosot sekitar 33,01% dibandingkan kontraksi dari pengeluara konsumsi swasta (rumah tangga) sebesar 6,40% dan pengeluaran pemerintah sekitar 15,37%.besarnya penurunan investasi tersebut juga kelihatan jelas dari penurunan persentasenya terhadap PDB pada tahun 2000 pertumbuhan investasi (tidak termasuk perubahan stok) sempat mencapai hampir 18%, namun setelah itu merosot terus hingga negative pada tahun 2002.
Pada awalnya, salah satu factor penting yang menyebabkan merosotnya kegiatan investasi didalam negri selama masa krisis,seperti juga dinegara-negara asia lain yang terena krisis (korea selatan dan Thailand), adalah karena kerugian besar yang dialami oleh perusahan swasta akibat depresiasi rupiah yang besar, sementara utang luar negri (ULN) nya dalam mata uang dolar AS tidak dilindungi (hedging) sebelumnya dengan kurs tertentu di pasar berjangka waktu kedepan (forward). Factor-faktor lain yang membuat lesunya komponen investasi didalam AS diantaranya adalah jatuhnya harga saham, pelarian moda ( atau arus modal keluar lebih banyak daripada arus masuk), dan resiko premium yang meningkat drastis.
Dua factor terakhir ini didorong terutama oleh kondisi politik, social, keamanan dan penegakan hukum yang buruk. Sedangkan dari ekspor meningkat karena memang depresiasi rupiah terhadap dolar As waktu itu membuat sebagian produk Indonesia, khususnya perkebunan, mengalami peningkatan daya saing harga.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar