Ayah masih ingatkah kau tentang hari kemarin saat kita berdiri bersama memandang indahnya mentari senja di pinggir pantai pelabuhan ratu dan kau memberiku setetes semangat untuk menempuh ujian nasional yang hari ini adalah hari pertama aku ujian. Aku masih ingat pesanmu ayah, aku ingat itu kau mengatakan kepadaku: “Nak, apa pun yang terjadi kamu harus ikhlas menerimanya nanti. Janji ya nak!” Ayah kau tahu hari ini aku dapat menjawab semua soal Bahasa Indonesia dengan mudah dan tidak kah kau tahu ayah bahwa hari ini aku benar-benar menjawabnya dengan jujur seperti pesanmu itu: “jangan lupa berlaku jujur ya neng gelis walau hasilnya tak tinggi nanti namun jika dilakukan dengan jujur akan lebih bernilai dari pada nilai tinggi hasil dari kebohongan”.
Pada hari itu nurmala sedang ada di sekolah ketika semua orang panik lari tunggang langgang sementara ayah nurmala yang sedang terbaring di gubuk yang reot nan kumuh tak dapat berbuat banyak sempat ia berteriak memanggil anaknya atau memanggil-manggil orang yang sedang berlarian namun tak satupun dari mereka yang mendengar jeritan lelaki tua itu.
Nurmala berlari sekuat tenaga menuju rumahku aku tak peduli orang-orang yang berusaha melarangku di pikiranku saat ini adalah tentang keadaan ayahku. Sambil meneteskan air mata aku terus menerebos kerumununan orang yang sebagian ku lihat penuh luka-luka seperti terkena hantaman benda keras. Di sekelilingku ku lihat sebagian dari mereka telah menjadi mayat sungguh tragis keadaan di sekelilingku darah bececeran dimana-mana rumah-rumah hancur.
Pikirannya semakin tak karuan mempertanyakan bagaimana nasib ayahnya.
Setelah beberapa kilometer ku berlari ku sampai di tempat yang ku kenal namun tak kutemukan rumah dan ayahku tempat itu sepi tak berpenghuni dan Nampak porak poranda oleh gempa 7,6 SR yang baru saja mengguncang Sukabumi. Sudah hampir satu bulan aku di pengungsian dan selama itu pula aku mencari-cari ayahku semua pos telah ku datangi dari pos data korban meninggal dunia sampai pos korban luka-luka namun tak ku temukan nama ayah ku di sana.
Hari ini pengumuman ujian nasional keluar dengan hati berkecamuk cemas aku melangkahkan kaki menuju sekolahku SMA BUNGA KARTNI berjam jam aku menunggu sembari mengobrol dengan beberapa teman akhirnya tepat pukul 13:00 WIB Kepala Sekolah mengumumkan hasilnya beberapa siswa sudah mendapatkan hasilnya namun entah mengapa namaku belum juga dipanggil dan kucari namaku di daftar siswa yang lulus pun tak ada aku semakin risau bagai gempa mengguncang hatiku bergetar kencang ingin rasanya aku teriak tidak mungkin namun lagi-lagi ku ingat kata-kata ayahku: “Nak, apapun hasilnya terimalah dengan ikhlas.”
Pada hari itu nurmala sedang ada di sekolah ketika semua orang panik lari tunggang langgang sementara ayah nurmala yang sedang terbaring di gubuk yang reot nan kumuh tak dapat berbuat banyak sempat ia berteriak memanggil anaknya atau memanggil-manggil orang yang sedang berlarian namun tak satupun dari mereka yang mendengar jeritan lelaki tua itu.
Nurmala berlari sekuat tenaga menuju rumahku aku tak peduli orang-orang yang berusaha melarangku di pikiranku saat ini adalah tentang keadaan ayahku. Sambil meneteskan air mata aku terus menerebos kerumununan orang yang sebagian ku lihat penuh luka-luka seperti terkena hantaman benda keras. Di sekelilingku ku lihat sebagian dari mereka telah menjadi mayat sungguh tragis keadaan di sekelilingku darah bececeran dimana-mana rumah-rumah hancur.
Pikirannya semakin tak karuan mempertanyakan bagaimana nasib ayahnya.
Setelah beberapa kilometer ku berlari ku sampai di tempat yang ku kenal namun tak kutemukan rumah dan ayahku tempat itu sepi tak berpenghuni dan Nampak porak poranda oleh gempa 7,6 SR yang baru saja mengguncang Sukabumi. Sudah hampir satu bulan aku di pengungsian dan selama itu pula aku mencari-cari ayahku semua pos telah ku datangi dari pos data korban meninggal dunia sampai pos korban luka-luka namun tak ku temukan nama ayah ku di sana.
Hari ini pengumuman ujian nasional keluar dengan hati berkecamuk cemas aku melangkahkan kaki menuju sekolahku SMA BUNGA KARTNI berjam jam aku menunggu sembari mengobrol dengan beberapa teman akhirnya tepat pukul 13:00 WIB Kepala Sekolah mengumumkan hasilnya beberapa siswa sudah mendapatkan hasilnya namun entah mengapa namaku belum juga dipanggil dan kucari namaku di daftar siswa yang lulus pun tak ada aku semakin risau bagai gempa mengguncang hatiku bergetar kencang ingin rasanya aku teriak tidak mungkin namun lagi-lagi ku ingat kata-kata ayahku: “Nak, apapun hasilnya terimalah dengan ikhlas.”
Dengan kata-kata itu aku sedikit semangat tak lama kepala sekolah memintaku untuk menghadap ke ruangannya kulihat raut wajahnya seperti menyimpan rahasia. Dengan lembut ia memintaku untuk membuka amplop putih di hadapannya. aku tak sanggup membaca isi surat itu dan bagai kejatuhan bulan ku lihat deretan-deretan angka di hadapanku, ternyata aku berhasil lulus dengan nilai tertinggi aku senang dan bangga hatiku berbunga-bunga bagai musim semi dan akhirnya kepala sekolah mengumumkan aku di hadapan ratusan siswa dan teman-temanku bahwa aku lulusan terbaik dengan nilai tertinggi di kota ini.
Kupandangi langit biru di atas sana kulihat ayahku tersenyum menatapku senyumnya bagai mawar yang mekar merekah indah sekali di pandang namun tak lama senyum itu hilang bersama mentari yang turun ke zona terdalam bumi.
Kupandangi langit biru di atas sana kulihat ayahku tersenyum menatapku senyumnya bagai mawar yang mekar merekah indah sekali di pandang namun tak lama senyum itu hilang bersama mentari yang turun ke zona terdalam bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar