Sabtu, 02 Juli 2016

Penyebab harga daging sapi melonjak tinggi

Saling lempar tanggung jawab tak akan mengenyahkan kartel komoditas pangan. Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan semestinya segera duduk bersama untuk mencari solusi. Bea-Cukai juga tak bisa lepas tangan, karena mereka mengawasi barang impor. Permainan kartel itu semakin terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus suap yang berkaitan dengan impor daging sapi. Komisi ini mengungkapkan, praktek serupa juga terjadi pada komoditas lain, seperti jagung, kedelai, beras, gula, dan terigu. Pengusaha bersama pejabat dan politikus memanfaatkan pembatasan impor pangan itu untuk mengeruk fulus sebanyak-banyaknya.

Impor yang terbatas itu membuka peluang untuk mempermainkan harga. Inilah yang membuat harga daging di negara kita tidak wajar, bahkan paling tinggi di dunia. Bayangkan, daging sapi yang diimpor dari Australia harganya Rp 40 ribu, tapi di sini dijual hingga Rp 90 ribu. Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, harga daging sapi di Indonesia juga dua kali lebih mahal. Laba yang dikeruk para pengusaha bisa mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun. Selama Januari-November tahun lalu, misalnya, Indonesia mengimpor bahan-bahan pangan utama itu lebih dari 15 juta ton dengan nilai Rp 81,5 triliun. Ini yang menjelaskan pula kenapa importir daging sapi bersedia menyuap hingga miliaran rupiah buat mendapatkan kuota impor.

Pengusaha juga sering memanfaatkan momen Lebaran dan liburan akhir tahun sebagai alasan untuk mendongkrak harga pangan semaunya. Berita bencana yang kadang tak berhubungan pun tak jarang dimanfaatkan untuk tujuan yang sama. Kenaikan harga seolah menjadi ritual yang lebih pasti daripada jadwal hari raya itu sendiri.

Permainan kotor itu bisa dilakukan karena tak ada transparansi sekaligus akurasi soal data pangan, baik cadangan di dalam negeri maupun data impor. Sapi anakan dan indukan, bahkan piaraan yang digunakan untuk balapan atau membajak sawah, juga dihitung sebagai cadangan daging. Data impor daging sapi pun kerap ditutup-tutupi atau berbeda antara di lapangan dan di atas kertas.

Jika impor pangan dibebaskan, tentu saja akan merusak harga produksi dalam negeri. Pemerintah semestinya tetap bisa membatasi impor tanpa menyuburkan praktek kartel yang merugikan rakyat. Ini bisa dihindari bila pemerintah mengawasi betul proses pemberian kuota hingga komoditas pangan itu masuk ke negeri ini.

Masalahnya, pengawasan impor pangan melibatkan banyak instansi. Kementerian Pertanian berwenang membagi kuota impor kepada pengusaha. Adapun proses impor diawasi oleh Kementerian Perdagangan. Data mengenai barang impor pun sering tidak sesuai dengan jumlah barang yang masuk lewat Bea-Cukai.

Pejabat semestinya segera membenahi mekanisme yang bolong dalam pengadaan pangan, dan bukan malah memanfaatkannya untuk korupsi atau berkongkalikong dengan importir. Praktek kotor ini hanya menyuburkan kartel yang merugikan rakyat.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan pemerintah seharusnya sudah tahu bahwa ada perusahaan besar yang mempermainkan pasokan bahan pangan alias kartel. Ulah kelompok industri raksasa itu membikin harga enam harga bahan pangan melambung, termasuk daging sapi akhir-akhir ini.

Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan (LP3E) Ina Primiana menegaskan identitas perusahaan yang melakukan praktik kartel merugikan sudah diketahui. Namun dia heran lantaran pemerintah mendiamkan saja. "Datanya sudah ada kok di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), tapi karena komisi itu tidak bisa menindak ya begitu akhirnya. Pemerintah juga diam saja, tidak menindaklanjuti laporan itu," ujarnya di Menara Kadin.

Komisioner KPPU Munrokhim Misanam membenarkan pihaknya memiliki data perusahaan yang diduga kuat mengendalikan pasokan bahan pangan utama seperti daging sapi, kedelai, dan gula. "Saya lupa. Tapi contoh dari gula itu, sembilan (diduga kartel) mengerucut jadi enam saja yang menguasai gula di seluruh Indonesia," ungkapnya.

Namun untuk kartel daging, dia enggan berkomentar. Misanam juga mengelak saat ditanya apakah direksi Indoguna Utama yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) termasuk kartel. "Saya no comment soal itu," ujarnya singkat. KPPU menyatakan solusi agar praktik kartel merugikan konsumen hilang dalam jangka pendek, pemerintah wajib terbuka saat proses penentuan importir dan kuota impor. "Jelas ini harus open bidding pengadaan impor itu sehingga kawan-kawan dari Kadin ini bisa ikut semua, tidak tertutup. Ini kan tidak transparan kalau tertutup begini," kata Misanam.

Selain itu, dia mengkritik data Kementan soal ketersediaan sapi potong yang tidak akurat. Imbasnya keputusan pemerintah mengurangi kuota impor daging malah menyebabkan kerugian bagi konsumen.

LP3E Kadin mencatat enam bahan pangan utama diduga dikuasai jaringan kartel. Itu sebabnya tren harga daging sapi, gula, atau kedelai terus naik sejak 2009 sampai sekarang. Importir bahan pangan itu diduga mengambil untung lebih dari 30 persen. Kadin memperkirakan untuk setiap importasi bahan pangan, misalnya sapi, per kilogram para importir mendapat fee Rp 1.000. Maka aksi kartel selama setahun mendatangkan untung Rp 11,3 triliun.

Melonjaknya harga daging sapi di pasar-pasar tradisional mendapat perhatian dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dalam keterangan tertulis, KPPU menyatakan bahwa dengan harga daging sapi yang bertengger pada kisaran Rp 120 ribu per kilogram (kg) hingga Rp 130 ribu per kg seperti saat ini, menandakan bahwa tataniaga daging telah memperkuat kekuatan pasar pelaku usaha yang berada di jejaring distribusi daging.

Padahal dalam konteks tataniaga, pasokan daging hanya boleh sama dengan permintaan. Tidak diperbolehkan pasokan melebihi permintaan karena dikhawatirkan menyebabkan harga jatuh yang merugikan peternak."Dalam konteks seperti ini, maka pasar sesungguhnya tidak bekerja," ungkap keterangan tertulis tersebut di Jakarta.

KPPU melihat, mekanisme distribusi yang berlangsung saat ini hanyalah penyaluran dari tempat produksi ke pasar. Sehingga dalam konteks ini, maka pelaku usaha di jejaring distribusi tahu betul bahwa pasokan hanya ada pada mereka, sehingga mereka akan bisa mendikte pasar atas nama mekanisme pasar. "Dengan model seperti ini, maka potensi terjadinya kartel sangat besar," ungkap KPPU.

Namun untuk mengatasi masalah ini, KPPU menilai dapat dilakukan dengan cara intervensi dari pemerintah. Pemerintah harus konsisten dengan melakukan tataniaga secara utuh.

"Apabila sisi hulu diintervensi dengan pembatasan pasokan, maka di sisi hilir pemerintah juga harus melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar," jelas KPPU. Sebelumnya, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan pemerintah harus segera menelusuri lonjakan harga daging sapi yang ini. Lantaran harga daging sapi tinggi tersebut bisa saja disebabkan oleh aksi oknum pedagang besar dan importir yang selama ini mengendalikan harga.

"Gonjang-ganjing harga daging sapi, patut diduga dengan kuat karena ulah pedagang besar dan importir, agar pemerintah menambah kuota impor sapi," ujar Tulus di Jakarta. Menurut dia, kenaikan harga ini bisa saja disebabkan aksi oknum pedagang besar dan importir yang sengaja menahan stok sapi dan daging yang bisa distribusikan ke pasaran dengan tujuan-tujuan tertentu. "Bahkan sengaja menimbunnya. Pemerintah harus bertindak tegas terhadap pedagang besar dan importir, yang patut diduga memainkan harga dan pasokan daging sapi," kata dia.

Terlebih lagi, lanjut Tulus, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan harga daging di tingkat peternak atau penggemuk (feetlotter) hanya sebesar Rp 40 ribu ribu per kg. Namun begitu sampai ke tangan konsumen sebesar Rp 90 ribu dalam keadaan normal bahkan saat ini mencapai Rp 140 ribu per kg.

"Pemerintah harus membongkar penggelembungan harga daging sapi impor, yang kata Mentan harga asalnya hanya Rp 35 ribu-Rp 40 ribu per kg. Kenapa harga ditangan konsumen (dalam kondisi normal), mencapai Rp 80 ribu-90 ribu per kg? Ini jelas ada supplay chain yang tidak beres," tegas dia.

Solusi ke depannya agar hal-hal seperti ini tidak kembali terulang yaitu Indonesia harus terbebas dari impor sapi dan daging. Menurut Tulus, pemerintah harus memberdayakan para peternak lokal agar mampu menyediakan daging untuk kebutuhan nasional. "Peternak sapi lokal harus diberikan berbagai insentif atau subsidi, agar lebih produktif. Sehingga kita tidak perlu impor dan mampu berdaulat daging sapi. Tanpa subsidi dan insentif pada peternak sapi lokal, maka kita akan terus bergantung pada daging sapi impor," kata Tulus.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha pekan lalu memvonis 32 perusahaan penggemukan sapi (feedloter)bersalah (22 April). Mereka terbukti melanggar Pasal 11 dan 19 huruf c UU No. 5/1999 tentang Persaingan Usaha. Mereka mengatur perjualan daging sapi yang hendak dijual.

Caranya, perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Feedloter Indonesia (Apfindo) itu menahan pasokan sapi ke rumah pemotongan hewan. Tujuannya agar pemerintahan Joko Widodo melonggarkan kebijakan kuota sapi impor triwulan III 2015 yang hanya 50 ribu. Akibatnya, harga daging sapi di Jabodetabek menembus di atas Rp 170 ribu/kg.

Total denda 32 perusahaan mencapai Rp 106 miliar, yang terendah Rp 71 juta dan yang tertinggi Rp 21 miliar. Denda ini tergolong besar karena denda maksimal yang diatur UU No. 5/1999 sebesar Rp 25 miliar. Besar-kecilnya denda disesuaikan keuntungan yang didapat oleh masing-masing perusahaan selama kenaikan harga daging sapi berlangsung.

Denda yang besar diharapkan bisa menimbulkan efek jera. Perusahaan memiliki waktu 14 hari untuk melakukan banding. Lalu, bagaimana kita memaknai keputusan KPPU ini?

Pertama, upaya KPPU yang tiada lelah menyeret pelaku terduga kartel ke meja hijau dan menghukumnya patut diapresiasi. Dalam bidang pangan, ini kali kedua KPPU memvonis pelaku usaha bertindak kartel. Vonis pertama terjadi pada 7 perusahaan kartel garam (12 Maret 2006), dengan denda masing-masing Rp 2 miliar. Pada 2014, KPPU sebenarnya telah menghukum 19 perusahaan importir bawang putih karena terbukti berlaku kartel. Namun, keputusan KPPU dibatalkan di tingkat pengadilan negeri. Bukan tidak mungkin keputusan KPPU kali ini juga bakal dibatalkan jika feedloter banding.

Kedua, kartel sejumlah komoditas pangan di negeri ini diduga amat struktural dan tidak tersentuh, bagai tembok kedap air. Meskipun sudah dihukum di tahun 2006, praktik kartel garam kembali terulang di tahun 2015. Pelaku ”jual-beli” kuota impor daging sapi sudah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi dan telah dihukum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 2013. Namun, harga daging sapi sampai sekarang masih mahal. Praktik kartel daging sapi masih terjadi. Ini menandakan langkah penegakan hukum tidak cukup untuk meniadakan praktik kartel.

Jika ditelaah lebih dalam, langkah feedloter menahan pasokan sapi siap potong ke rumah pemotongan hewan sebetulnya bentuk going concern dan bagian dari merespons kebijakan pemerintah saat itu yang memotong kuota sapi impor secara drastis: dari rata-rata 250 ribu ekor pada dua triwulan sebelumnya tinggal 50 ribu.

Agar semua lini usaha—baik penggemukan, pemotongan maupun penjualan di pasar—tetap berjalan dalam tiga bulan, kuota impor yang tinggal seperlima harus disesuaikan. Jika tidak, usaha bisa tutup. Tentu tak adil pengusaha diadili dan didenda, sementara pembuat kebijakan dibiarkan.

Pangkal persoalan ini hanya satu: kemampuan produksi domestik yang belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Agar impor tidak disinsentif bagi peternak sapi domestik, impor (sapi dan daging) diatur lewat kuota. Dengan cara ini plus langkah-langkah promotif, pemerintah yakin swasembada daging sapi bisa dicapai.

Hasilnya, impor bukannya menurun, sebaliknya dari tahun ke tahun impor terus membesar, bahkan kian tidak terkendali. Tahun 2011, impor sapi dan daging baru 88,8 ribu ton setara daging. Jumlah ini terus melonjak menjadi 93,8 ribu ton daging (2012), 134,4 ribu ton (2013), dan 216,8 ribu ton (2014). Efektivitas kebijakan kuota patut dipertanyakan.

Ke depan, agar swasembada daging sapi tercapai pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi sebaiknya fokus mengatasi defisit induk sapi sekitar 1,3 juta ekor. Ada dua solusi: apakah diimpor atau mengembangkan indukan berbasis sejumlah breed lokal unggul? Cara pertama sifatnya instan dan hanya cocok untuk solusi jangka pendek. Dalam jangka panjang, cara kedua menjadi pilihan terbaik.

Namun, untuk bisa mengembangkan model breeding modern sejumlah syarat harus dipenuhi, yakni tersedianya sejumlah infrastruktur peternakan modern mulai dari industri pakan, pembesaran, pemotongan,cold storage untuk pelayuan hingga distribusi. Untuk mencapai itu perlu kebijakan komprehensif dan konsistensi.

Referensi

http://fokusnusa.com/2016/05/03/jokowi-dan-mafia-daging-sapi-di-indonesia/

http://www.suara.com/tag/kartel-daging-sapi

http://kartel-indonesia.blogspot.co.id/2013/02/kartel-komoditas-pangan.html

http://bisnis.liputan6.com/read/2291429/kppu-cium-adanya-praktik-kartel-dalam-distribusi-daging

Tidak ada komentar:

Posting Komentar